Pasca Perang Korea 1950-1953, Korsel tidak lebih dari tumpukan debu. Perang hanya menyisakan desa-desa yang compang-camping, tanah telantar, serta 48 jutaan warga miskin dan kurang makan. Begitulah sejarawan militer Amerika Serikat, Russel Gugeler, menggambarkan kondisi Negeri Gingseng pada 1966 dalam buku Korea 1988: A Nation at the Crossroads (editor G Cameron Hurst III, 1988).
Hingga 1980, kondisi ekonomi Korsel lebih buruk ketimbang Indonesia yang sama-sama sedang berusaha bangkit setelah melewati masa perang kemerdekaan dan pergolakan politik. Saat itu, produk domestik bruto (PDB) Korsel hanya 64,4 miliar dollar AS, sedangkan PDB Indonesia 86,3 miliar dollar AS. Sumber daya alam Korsel juga hanya seujung kuku sumber daya alam Indonesia.
Lahan pertanian kami sempit dan tidak akan cukup untuk memproduksi makanan untuk seluruh rakyat Korsel. Kami bahkan tidak punya minyak setetes pun, ujar profesor Park Sang-il dari Seoul National University of Technology and Science saat ditemui wartawanKompas, Budi Suwarna dan Hamzirwan,di ruang kerjanya di kampus, awal September.
Hanya dalam dua dasawarsa sejak program pembangunan ekonomi nasional dicanangkan pada 1960-an, Korsel bergerak untuk berubah menjadi negara industri baru. Tahun 1984, PDB Korsel mulai melewati Indonesia dan selanjutnya berlari kencang tanpa pernah bisa terkejar oleh Indonesia hingga saat ini. Pada 2014, PDB Korsel mencapai 1,308 triliun dollar AS dan berada di peringkat ke-14 dunia, sedangkan Indonesia 868,34 miliar dollar AS.
Pendapatan per kapita Korsel mencapai 25.977 dollar AS (2013), Indonesia 3.590 dollar AS. Dalam bahasa awam, pendapatan rata-rata setiap warga Korsel per tahun adalah tujuh kali lipat dari pendapatan per tahun rata-rata orang Indonesia.
Wajah Korsel berubah drastis. Desa-desa yang compang-camping dan warganya kelaparan akibat perang saudara tidak ditemukan lagi. Kami mencoba menyelami kehidupan di sebuah desa di Incheon yang berjarak hanya sepelemparan batu dari stadion Asian Games, Incheon Asiad. Kami bertemu Kim Jum-soon, seorang ibu berusia 54 tahun, yang sedang membuat berkilo-kilogram kimchi, makanan khas negeri itu yang berupa sayuran terfermentasi. Sayur-mayurnya ia tanam sendiri di lahan 1.200 meter persegi.
Ini untuk kami konsumsi sendiri. Saya tak perlu berjualan karena gaji suami saya sebagai karyawan perusahaan listrik sudah cukup, ujar Jum-soon, si ibu petani yang datang ke kebunnya dengan mobil sedan.
Potret Korsel yang sejahtera terlihat amat nyata tanpa perlu penjelasan lanjutan. Jembatan-jembatan kokoh dan panjang melintang di atas sungai-sungai besar, transportasi massal seperti kereta bawah tanah dan bus menghampiri stasiun dan halte setiap 3 menit sekali. Jalan-jalan di tengah kota mirip catwalk, tempat orang-orang berpakaian modis dan mahal berseliweran nyaris setiap detik. Di restoran, setiap orang makan dalam porsi besar.
Orang Korsel makan banyak, tetapi orang di Korut belum tentu bisa makan, ujar Oh Joo-suk, pengusaha asal Busan. Malam itu, kami makan di sebuah restoran di Gangnam salah satu pusat kehidupan urban di Seoul sambil memandangi gedung-gedung jangkung bermandikan cahaya.
Kerja keras
Bagaimana Korsel bisa melompat dari negara miskin menjadi negara sejahtera dalam waktu singkat? Sarjana dan media Barat menyebut apa yang terjadi pada Korsel sebagai keajaiban. Namun, kemajuan yang diraih Negeri Ginseng tidak terjadi dalam satu malam.
Setelah perang saudara reda di awal semester kedua 1953, kata Rezky Kim Seok-gi, Direktur Pusat Kebudayaan Korea (KCC), para pemimpin Korsel menyusun rencana pembangunan lima tahunan dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Rencana itu kami jalankan dengan disiplin tinggi dan kerja keras di bawah kepemimpinan kuat, ujarnya.
Karena sumber daya alam Korsel sangat minim, lanjut Rezky, pemerintah mendorong negeri itu menjadi negara industri. Mereka menyalurkan utang luar negeri ke pengusaha lokal dalam bentuk skema pinjaman lunak, subsidi, dan insentif. Pemerintah juga memberikan perlindungan terhadap produk yang mereka hasilkan.
Di saat yang sama, pemerintah menanamkan doktrin yang tidak bisa ditawar-tawar tentang cinta produk lokal sebagai bagian dari sikap patriot. Kalau menggunakan produk asing, kami merasa malu karena dianggap tidak membantu negara. Inilah yang membuat perusahaan Korsel bisa hidup dan terus berkembang karena mereka punya pasar, ujar Rezky.
Felix Moos dalam artikel Korea Globalizes: A Tiger Cub Growing (1988) menuliskan, perlindungan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan sering kali berupa hak monopoli yang ekstrem. Namun, dengan cara itu, beberapa perusahaan lokal menjelma jadi perusahaan besar dan dikenal di tingkat global, seperti Posco, Hyundai, KIA, Samsung, Daewoo, dan LG.
Felix menambahkan, selain kepemimpinan yang kuat, ada faktor lain yang menentukan keberhasilan Korsel, yakni Amerika Serikat. Di awal pembangunan Korsel, AS menggelontorkan banyak uang dan gagasan. Tanpa AS dan Jepang, Korsel tidak mungkin bisa bangkit dari perang dan konflik dengan Korut, tulis Felix.
Hebatnya, setelah jadi negara industri, Korsel bisa mengubah posisinya dari klien AS dan Jepang menjadi kompetitor utama. Seperti dikutip dari AFP edisi 8 Juni 2014, Samsung kini menguasai 25,2 persen pasar ponsel pintar dunia, mengalahkan produk AS, Apple, yang menguasai 11,9 persen. Adapun LG mendesak ke atas sebagai peringkat kelima dengan penguasaan pasar 4,9 persen.
Gambaran di atas menunjukkan faktor internal tetap yang lebih menentukan kemajuan Korsel, utamanya kualitas sumber daya manusia negeri itu. Profesor Park Sang-il menjelaskan, sejak awal membangun negeri, Korsel sadar bahwa mereka hanyalah negara miskin, dengan penduduk yang juga miskin. Maka, satu-satunya cara agar bisa bertahan adalah dengan meningkatkan kualitas SDM.
Pada periode 1980-an dan 1990-an, lanjut Sang-il, banyak anak-anak muda yang dikirim ke AS dan Jepang untuk belajar, terutama tentang teknologi tinggi. Sang-il adalah salah seorang di antara mereka. Ia berangkat ke AS untuk melanjutkan studi pascasarjana strata dua dan doktor di bidang elektronika.
Setelah menyerap banyak ilmu dan pengalaman bekerja di bidang semikonduktor di AS, ia kembali ke Korsel dan bekerja di Samsung. Selanjutnya, ia menjadi salah satu dari sejumlah orang penting di balik kesuksesan Samsung dalam mengembangkan sejumlah teknologi telepon pintar.
Di ruang kerja yang sedikit berantakan, ia menunjukkan beberapa peralatan teknologi tinggi hasil rancangannya. Ini belum diluncurkan, kata mantan Senior Vice President Samsung (1995-2006) yang memegang 17 hak paten di AS dan 32 hak paten internasional tersebut.
Jalan serupa ditempuh Lee Soo-man, mantan penyanyi yang memutuskan merantau ke AS untuk mempelajari industri hiburan, kurun 1980-an. Pada 1990-an, ia kembali ke Korsel dan jadi otak di balik ekspansi K-Pop yang memicu histeria jutaan anak muda dari Asia hingga Amerika. Tiba-tiba saja industri musik Korsel yang hingga awal 1990-an belum terdengar gaungnya, awal 2000-an, memicu kehebohan di banyak negara.
Dari sini, banyak pengamat menyebut K-Pop sebagai penanda lompatan kedua Korsel. Negeri itu tidak lagi sekadar mengekspor produk manufaktur, tetapi juga produk budaya pop, citra, dan imajinasi Korea ke dunia global.
Dan, pengaruh Korsel benar-benar terasa kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita makin terbiasa memakai ponsel pintar Samsung, mesin cuci dan AC LG, mobil Hyundai, belanja di Lotte Mart, merawat wajah dengan BB cream korea, hingga mengunyah kimchi dan roti korea.
By kompas
1 comments:
Assalamualaikum ... Tolong komen ane di approve gan ! hehe, numpang cari backlink. Gimana keluarga semua di rumah ? Sehat ?
Ijin titip Link ya gan, Mohon maaf kalo ane nyampah ... :)
Mengobati Sipilis tanpa ke dokter
Obat Sipilis di apotik online
Obat Kencing Sakit tanpa ke dokter
Jual Obat Raja Singa herbal
Obat Raja Singa Gang Jie & Gho Siah
Produk Obat Sipilis terbaik
Obat Kencing Sakit tanpa efek samping
Obat herbal Kencing Sakit Sipilis
Obat Tradisional Raja Singa
Obat Raja Singa Tradisional Ampuh
Post a Comment